Surga Kopi Tersembunyi Di Mall Ambassador

wpid-dsc_0018.jpg

Toko Kopi Aroma Nusantara dari depan. Foto: @dariagumulya

Sabtu ini saya pergi ke mall Ambassador karena harus membeli charger laptop yang sudah rusak. Setelah berkeliling dari satu toko ke toko lain, dan akhirnya mendapatkan apa yang saya cari kemudian saya iseng cuci mata di sekitar situ.

Saat naik ke lantai 4, saya menemukan kedai kopi lucu yang unik, bernama Toko Kopi Aroma Nusantara. Kedai itu nyempil diantara toko-toko peralatan computer, toko pakaian, dan kafe-kafe yang sudah ‘berumur’ di mal itu. Jadi kelihatan ‘berbeda’ dari kejauhan.

Sebenarnya kedai tersebut tidak terlalu luas, bahkan tergolong mini. Hanya ada 5 meja, dengan kursi bervariasi, 2, 3, dan 4. Interiornya didominasi kayu dengan lampu yang mengesankan warm. Yang menarik, di dindingnya apa pajangan berupa teko, gelas, dan coffee maker dari yang kecil hingga yang berukuran super besar.

wpid-dsc_0027.jpg

Bar yang rapi dan bersih. Foto: @dariagumulya

Kelebihan kedai kopi ini terletak pada menu kopi yang ditawarkan. Semua kopi berasal dari daerah-daerah di Indonesia, dari Kopi Gayo Aceh, Kopi Mandailing, Lampung, Toraja, Malabar-Jawa Barat, Bali Kintamani, Flores Bajawa, hingga Papua Wamena.

wpid-dsc_0021.jpg

Menu kopi dari berbagai daerah eksotik di seluruh Indonesia. Foto: @dariagumulya

Selain itu, penggemar kopi wajib mencoba pilihan barista: kopi luwak yang mahal (sekitar 86 ribu per gelas) dan Coffe Stout, dark beer with no alcohol, dan Dutch Coffee, kopi yang diproses 10-14 jam brewing bersama dark chocolate, sehingga menghasilkan after taste yang manis. Kayaknya tempat ini surga bagi pecinta kopi.

Karena saya bukan penggemar kopi, saya mencoba minuman dingin bernama BCA (banana, chocolate, almond) dan rasanya nyes!! Heaven! Rasa cokelatnya terasa kental lumer di mulut. Tapi rasanya belum lengkap kalau tidak mencoba kopinya, saya pilih Cappucinno cream brulee, ini semacam kopi cappucinno yang diberi topping caramel kasar. Rasanya hmmmmm…yummy, meski agak sedikit pahit. Tapi tenang saja, cara meminumnya dengan menambahkan creamnya yang tebal dan manis.

wpid-dsc_0019.jpg

Banana choco almond yang melted di mulut. Foto:@dariagumulya

wpid-dsc_0030.jpg

Kopi Mandailing, wadah kopinya sophisticated :). Foto:@dariagumulya

wpid-dsc_0032.jpg

Cappucinno cream brulee, cream yang tebal dengan taburan karamel yang crunchy. Foto:@dariagumulya

Sedangkan menu makananya bervariasi, ada bakso, iga, hingga nasi goreng. Saya mencoba nasi goreng spesial. Rasanya seperti masakan rumahan. Sepertinya chef-nya orang Jawa tengah atau Jogja karena kuat rasa kecapnya, maklum orang Jawa ‘kan emang terkenal suka makanan manis.

wpid-dsc_0029.jpg

Nasi goreng rumahan, rasa seperti makasan ibu 🙂 Foto:@dariagumulya

Selain beli kopi di tempat, kedai ini juga menjual biji kopi yang langsung di-roasted atau dipanggang. Jadi kita bisa melihat langsung bagaimana biji kopi pilihan kita diproses jadi bubuk. Harganya juga tak mahal kok. Kalau kata pepatah: You can’t buy happiness but you can buy a cup of coffee. Selamat mencoba!

Anis Hidayah, ‘Ibu’ Buruh Migran Wanita

Ancaman dan teror tak menyurutkan semangatnya dalam membela hak buruh wanita.

Anis Hidayah (37) tak pernah lelah mendampingi para buruh migran yang teraniaya di luar negeri untuk menuntut keadilan. Tahun lalu, bersama teman-temannya, Direktur Eksekutif Migrant Care ini berhasil mendesak pemerintah meratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Hak Buruh Migran. Ia menyebut, apa yang ia lakukan bukanlah sebuah pekerjaan, namun napas hidupnya.

Foto: Dokumentasi Femina

Berawal dari Keprihatinan

Berada di lingkungan buruh migran sepertinya telah menjadi takdir bagi Anis. Anis kecil lahir dan besar di sebuah kampung di Bojonegoro, Jawa Timur. Ia menjadi saksi mata perjuangan sebagian besar wanita di kampungnya yang berupaya lepas dari kemiskinan dengan bekerja di luar negeri sebagai tenaga kerja wanita (TKW).
Isu buruh ternyata tak sebatas ketidakmampuan mereka lepas dari belitan kemiskinan. Ada banyak kasus memilukan lainnya, seperti penganiayaan dan pemerkosaan yang mengusik sanubarinya saat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jember. Anis yang awalnya aktif di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) kemudian mengenal organisasi Solidaritas Perempuan yang khusus menangani isu buruh migran wanita. Ia pun banyak belajar tentang advokasi buruh migran saat menceburkan diri di organisasi itu.

“Saya tertarik dengan isu yang dihadapi para buruh wanita di luar negeri. Bagi saya, itulah realitas mengerikan yang sangat dekat dengan kehidupan saya,” ujar Anis, yang skripsinya mengulas seputar permasalahan TKW. Anis sangat serius mendalami kasus-kasus hukum yang menimpa para pahlawan devisa ini. Keseriusannya ia buktikan dengan melanjutkan kuliah master di bidang Hukum Internasional di Universitas Gadjah Mada tahun 2001.

Dalam perjalanannya membuat tesis, Anis mengadakan penelitian tentang buruh migran. Penelitian yang berlangsung setahun tersebut membuatnya seperti orang gila dan makin tenggelam dalam kasus-kasus TKW yang ia analisis. “Ini persoalan nyawa, namun mengapa pemerintah terkesan tak acuh dan tak ada upaya signifikan untuk segera menanganinya. Padahal, negara yang mempunyai otoritas,” keluh wanita yang harus menunda mimpinya meraih gelar master karena kesibukannya membela nasib wanita ini. Didorong keprihatinannya akan nasib para buruh yang terlunta, Anis pun mengajak 4 rekannya sesama aktivis untuk membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Migrant Care, tahun 2004 silam.

“Walaupun sudah banyak LSM sejenis, Migrant Care ada untuk memperkuat organisasi masyarakat sipil yang sudah ada. Mengapa saya putuskan fokusnya ke buruh migran perempuan? Karena wajah buruh migran Indonesia itu memang perempuan,” kata Anis. Ia merasa, isu buruh di tahun itu situasinya cukup darurat, terutama kasus ekstrem yang menimpa mereka, seperti pemerkosaan dan penganiayaan. Anis merasa lega, ada beberapa keberhasilan advokasi yang ditangani Migrant Care. Salah satunya kasus Umi Saodah, TKI yang terjebak di Perang Palestina tahun 2010.
“Dengan melakukan segala upaya kami berjuang menghubungi PMI dan Kedutaan Indonesia agar bisa memulangkan Umi,” ceritanya. Tangis air mata bahagia orang tua dan Umi Saodah melecut semangat Anis untuk berbuat lebih banyak. “Keberhasilan menegakkan keadilan inilah tujuan Migrant Care. Salah satu indikator keberhasilan kerja kami adalah ketika kebijakan yang kami dorong dilakukan pemerintah,” ujar Anis, yang tahun ini namanya terpilih untuk mengikuti 100 Women Conference BBC di London, Oktober 2013.

Satu kemenangan besar yang menjadi tonggak pencapaian Migrant Care, ketika tahun 2012 lalu pemerintah Indonesia akhirnya meratifikasi konvensi PBB tahun 1990 tentang Hak-Hak Buruh Migran. Kerja keras Anis melakukan kampanye bertahun-tahun, penyebaran ratusan rilis ke media, hingga aksi dan lobi kepada DPR, terbayar sudah. “Ini satu-satunya instrumen internasional yang secara komprehensif melindungi buruh migran. Sempat ditunda selama 13 tahun oleh pemerintah, akhirnya kini terwujud. Ini kemenangan besar karena menjadi fondasi untuk melindungi TKI,” jelas wanita kelahiran 7 November 1976 ini, puas. Namun, ini baru langkah awal, sebab perjuangannya masih jauh dari selesai.

DSC_7514

Foto: Dok. femina

Ibu yang Pemberani
Bekerja sebagai seorang aktivis adalah passion-nya. Beruntung, kedua orang tuanya yang berprofesi sebagai pendidik mendukungnya penuh. “Mereka menyerahkan pilihan kepada saya. Kepuasan saya adalah ketika bekerja tidak fokus mencari materi saja, namun berguna bagi sesama,” ungkap Anis penuh kelegaan. Dalam perjalanan kariernya mengawal banyak kasus selama satu dekade, ia menilai tiap cerita dan pendampingan buruh menjadi rangkaian sejarah keberadaan Migrant Care.

Dalam tiap perjuangannya, rasa pesimistis dan putus harapan selalu ia tepis jauh-jauh dari benaknya. Menurutnya, apa yang dilakukannya dibanding dengan apa yang dialami para buruh migran itu, belum ada apa-apanya. Anis mencontohkan Nirmala Bonat, TKI asal Nusa Tenggara Timur yang disiksa majikannya selama 3 tahun di Malaysia. “Dalam kondisi hancur lebur, ia masih punya semangat juang,” ungkapnya, penuh haru. Berkat advokasi tim Migrant Care selama 7 tahun, kini majikan Nirmala menerima hukuman 12 tahun penjara.

“Kasus yang berujung pada hukum yang adil itu tidak banyak. Parahnya, sudah ada bukti-bukti penyiksaan, tapi tidak ada upaya apa-apa dari pemerintah. Kalau kasus-kasus itu dianggap lumrah, negara bisa mati rasa. Menangani dengan rasa, itu kuncinya,” ungkapnya. Anis mengutip data di Migrant Care sepanjang tahun 2012, sebanyak 1.249 TKI meninggal. Artinya, 4 orang meninggal tiap hari. Menurutnya, hal ini bisa terjadi karena pemerintah sering kali menoleransi tiap persoalan kekerasan yang muncul. “Padahal, jika dilihat dari perspektif hak asasi manusia, satu nyawa yang hilang harus dituntut pertanggungjawabannya dengan hukum,” jelas penerima Alison Des Forges for Extra Ordinary Activism Award, Human Rights Watch, New York, 2011, penghargaan untuk pejuang HAM yang pemberani, ini.

Kiprah Anis yang terlalu vokal membela TKI kerap mendapat ancaman dari pihak yang ingin membuatnya bungkam. Tak jarang, ketika menangani sebuah kasus, Anis mengaku dibanjiri teror ancaman 10-20 SMS per hari. “Nomor telepon yang masuk kebanyakan datang dari Malaysia dan Arab Saudi. Tak hanya menerima ancaman dan makian, saya dituduh sebagai mucikari,” ungkapnya. Jika awalnya ia mengaku shock menerima SMS teror tersebut, lambat laun ia dapat beradaptasi dan kebal dengan ancaman. Namun, perlu waktu bagi Anis untuk menenangkan hati suaminya, Teguh Prawiro, yang justru khawatir akan keselamatannya. Untungnya, suaminya mau mengerti pada pekerjaannya, termasuk waktu yang sangat sedikit untuk keluarga.

“Waktu bersama keluarga saya akui sangat terbatas, namun bukan berarti saya tidak memprioritaskan keluarga,” ungkap ibu dua anak ini. Saat anak pertamanya, Diya Orienta (8), libur sekolah, Anis sering mengajaknya ke kantor untuk memperkenalkan pekerjaannya. Di waktu luang, Anis bersama keluarga kerap melakukan kegiatan bersepeda di area car free day. Bagi Anis, membela hak asasi para TKI bukan sekadar pekerjaan, tapi sudah menjadi napas hidupnya. “Pekerjaan ada batasan jam kerja, tapi apa yang saya lakukan tidak mengenal batasan jam kerja Ini hidup saya,” ungkapnya, menutup pembicaraan. Daria Rani Gumulya Foto: Gito Novianto
Artikel ini dimuat di Femina, edisi Januari 2014

Ayu Gani Menuju Top Model Asia

Pemenang Wajah Favorit Wajah Femina 2011 ini memantapkan karier untuk go international

ayu gani

Foto: Dokumentasi Femina

Kabar terbaru Anda menjadi salah satu model Indonesia yang lolos Asia’s Next Top Model 3?
Benar, saat ini acaranya sedang tayang di jaringan televisi kabel. Saya mendaftar kompetisi ini via online, jujur ini semua karena dorongan dari mama. Setelah dua kali proses interview dan menjawab pertanyaan psikologi via online, saya dinyatakan lolos. Selain saya, ada Tahlia Raji dan Rani Ramadhany yang juga mewakili Indonesia.

Apa yang Anda pelajari dari kompetisi itu?
Salah satu juri, Joey Mead King mengatakan model itu seperti blank canvas, apa pun pakaian yang dikenakan, bagaimana pun karkater make up-nya, siapa pun desainer dan fashion stylist-nya, seorang model harus bisa membawakan baju itu menjadi terlihat indah saat difoto. Beruntung, saya sudah kenyang belajar photoshoot saat ikut kompetisi Wajah Femina.

Apa tantangan terbesar dari kompetisi tersebut?
Selama masa karantina yang berlangsung hampir tiga bulan, alat komunikasi dan gadget diambil oleh panitia. Komunikasi dengan dunia luar terputus. Jadi, mau tidak mau saya hanya bisa ngobrol dengan sesama kontestan. Untuk mengusir bosan, saya kemudian memasak dan ternyata masakan saya digemari para kontestan lain.

Setelah syuting AsNTM selesai, saat ini Anda sibuk apa?
Saya sedang semangat memulai bisnis overnight oats dengan brand Dietory, yang saya jual melalui instagram. Idenya berawal ketika saya sering kesulitan mencari sarapan, apalagi saat gladi resik fashion show, pukul 5 pagi harus stand by di lokasi. Kalau hanya makan buah, dua jam kemudian lapar. Setelah browsing di internet, saya mencoba resep overnight oats. Ternyata, ketika saya bawa ke backstage, teman-teman model menyukainya dan pesanan berdatangan begitu saja. Dari situlah saya berpikir untuk memulai bisnis sarapan sehat ini.

gani

Foto Gani by @dariagumulya

Cita-cita apa yang ingin masih ingin diwujudkan?
Saat ini saya masih kuliah jurusan fashion business di LaSalle College Indonesia. Saya banyak belajar bagaimana membuat pakaian dan mengembangkan brand pakaian, termasuk metode marketingnya. Inginnya setelah lulus kuliah, saya bisa mendirikan clothing line yang sesuai dengan gaya saya.

Favorit Gani

1. Pensil alis. Tak pernah ketinggalan di dalam tas.
2. Saya senang memasak grilled salmon untuk keluarga.
3. Liburan favorit selalu di pantai. Pantai Terbaik hingga saat ini Gili Trawangan, Lombok.
4. Mengoleksi benda-benda berbentuk gajah. Mulai dari gelang, liontin, boneka, hingga gantungan kunci.
5. Jatuh hati pada dress warna monokrom karya Albert Yanuar.

Artikel ini pernah dimuat di Femina F17, April 2015

Sehari Bersama Sinden ‘Nyeleneh’ Soimah Pancawati

Bukan tampang cantik dan gaya bicara lembut, berani gila adalah caranya menaklukkan Jakarta.

Wajahnya tak pernah absen menghiasi salah satu stasiun televisi swasta dari Senin hingga Minggu. Meski ‘bergelar’ sinden, Soimah Pancawati (33) jauh dari kesan anggun dan lembut. Gayanya justru urakan dengan ciri khas tawanya yang menggelegar. Padahal, tiap tampil ia mengenakan kebaya. Menurutnya, berani gila adalah ciri khas yang membuatnya berbeda dari pesinden lain.
Di tanah air, Soimah adalah meteor dunia hiburan dengan nilai kontrak miliaran rupiah per program acara. Bukan tanpa kerja keras ia membangun kariernya. Ia terjun menekuni kesenian sejak umur 15 tahun. Bagaimana perjuangannya? Femina mengikuti kegiatan Soimah selama satu hari penuh.

Pukul 12.30
Ruang Make Up Studio 2 Trans TV, Jakarta
Tak mudah mengatur janji temu dengan Soimah. Jadwalnya padat sekali. Tiap hari, lebih dari 12 jam waktunya ia habiskan di Trans TV. Seperti pada siang itu, Soimah sudah selesai make up, berkonde, dan mengenakan kebaya warna merah cerah.
“Tiap hari seperti ini, ya, capek,” ungkapnya datar, tanpa ada nada keluhan, membuka percakapan dengan femina. Soimah lantas menjelaskan jadwal syutingnya yang padat. Untuk minggu ini, ia mulai dari taping acara Show Imah pukul 13.30 siang, acara yang melejitkan namanya ini. Setelah selesai, langsung dilanjutkan berkumpul dengan kru, briefing untuk persiapan live.
Pukul 16.30 selama satu jam, ia menjalani syuting live siaran Show Imah. Baru selepas acara, ia bisa manfaatkan waktu kosongnya untuk makan malam dan tidur. Di ruang make up ini pula biasanya Soimah beristirahat. Ia tak pernah lupa membawa kursi lipat, yang akan ia pakai sebagai alas tidur. Waktu istirahatnya pun tak lama, hanya 2 jam. Karena, pukul 8 malam Soimah sudah harus siap untuk membawakan acara Yuk Keep Smile yang berlangsung hingga tengah malam.
Begitulah rutinitas Soimah dari Senin hingga Jumat. Kecuali Sabtu dan Minggu, waktunya sedikit longgar karena tidak ada jadwal Show Imah, sehingga ia bisa berangkat ke studio sore hari.
“Trans TV adalah rumah pertama saya. Tapi, karena rumah sendiri malah jadi tempat numpang tidur saja,” ujar wanita kelahiran 29 September 1980 ini. Untung saja, dalam sebulan ia punya jatah libur seminggu untuk pulang kampung, me-refresh pikiran dan tubuh. “Makanya, syuting taping ini untuk simpanan ketika saya sedang di Yogya,” ujar Soimah, yang mengaku tak ada waktu untuk ke salon.
Meski sibuk, Soimah mengaku begitu mencintai pekerjaannya. “Saya ingin begini (berkarya) sampai dunia hiburan tidak menerima saya lagi. Sampai orang bosan melihat saya,” ungkapnya, sambil mengoleskan lipstik merah sebagai sentuhan terakhir penyempurna penampilannya hari itu. Menurutnya, berkesenian bukan semata-mata untuk mencari uang, namun sebuah kebutuhan jiwa.
Soimah ingat, ketika masih di Yogya, tiap bulan Sura (penanggalan Jawa) selama sebulan nyaris tidak ada job manggung. “Enggak sabar rasanya ingin segera pentas lagi, seperti ada kebutuhan,” jelasnya. Ia bahkan rela tak dibayar, asal bisa ikut pentas jika ada komunitas seni di Yogya mengadakan hajatan.
“Kalau dengan teman tidak mungkin saya pasang harga, apalagi yang meminta seniman senior seperti Butet Kertarajasa,” ungkap artis yang bergabung dalam komunitas Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo, Acapella Mataraman, kelompok seni Kua Etnika, Orkes Sinten Remen, dan Jogja Hip Hop Foundation.

Pukul 13.30 – 14.45 WIB
Studio 2 Trans TV, Taping Show Imah
Bersiap taping, Soimah beranjak sejenak menuju panggung, meninggalkan femina yang hari itu jadi penonton. Beberapa saat sebelum tampil, Soimah melakukan check sound bersama band pengiringnya. Komitmen tampil profesional membuatnya selalu mengecek segala hal sebelum tampil, termasuk cerewet dengan busana yang ia kenakan. Seperti siang itu, Soimah tampil dengan kebaya merah keemasan, sesuai dengan warna anting dan sepatu yang ia pilih sendiri.
“Show Imah…!” ucapnya lantang, membuka acara. Penonton pun berteriak, “Sok banget…!”
Soimah menimpali dengan gaya arogan. “Emang iya, masalah buat lo?” katanya, diakhiri tawa menggelegar.
Dengan tema fenomena hijab, Soimah mengundang bintang tamu Desy Ratnasari, Alya Rohali, Yulia Rahman, dan Jenahara. Dalam suatu kesempatan, Desy Ratnasari balik menanyakan kapan Soimah berhijab. “Doakan saja, segera mendapat hidayah dan menyusul,” balasnya, diikuti kata ‘amin’ serentak dari penonton.
Tak ada yang dibuat-buat. Soimah mengaku, dalam menjalani syuting ia mengalir saja. Meski tak dipungkiri, ucapannya kerap melenceng dari skrip. “Meski di luar skrip, saya tetap harus memilih kalimat yang pantas diucapkan,” ungkapnya.
Prinsip mengalir seperti air ini juga ia terapkan dalam menjalani hidup. Soimah lahir dan besar di Pati, Jawa Tengah. Saat masih SMP, ia sudah biasa tampil sebagai penari di acara resepsi pernikahan hingga acara 17 Agustusan. Ibunya, Kasmiyati, kemudian melahirkan anak ke-7. Adik bungsu ini lantas diadopsi oleh Ngatini, tante Soimah yang tinggal di Yogya.
“Selepas SMP, saya diajak Bulik (Tante) ke Yogya, sekalian menjaga adik,” jelas anak ke-5 dari 7 bersaudara ini. Di Yogya, tantenya yang berprofesi sebagai guru tari di Padepokan Bagong Kussudiardjo mendaftarkan Soimah ke SMKI Yogyakarta Jurusan Tari, dengan harapan kelak Soimah akan menjadi penari.
Jurusan tari sudah penuh. Soimah disarankan menunggu tahun depan. “Karena sayang waktu terbuang percuma, akhirnya saya mengambil jurusan karawitan, bisa dikatakan jurusan ‘buangan’,” ujarnya.
Meski sekolah karawitan, ia juga aktif belajar tari di sanggar Bagong. Dengan wajah cantiknya, ia ‘laris’ sebagai sinden, diminta dalang untuk mengiringi pentas wayang kulit. Ia masih ingat, pertama kali menjadi sinden, bayarannya hanya Rp10.000. Makin lama honornya makin meningkat seiring dengan jam terbangnya. Tak hanya nyinden, Soimah remaja juga kebanjiran job menari. Ia menari di berbagai acara seperti Hari Bhayangkara Emas dan Pekan Olahraga Nasional.
Di waktu luang, Ngatini rajin membawa Soimah ke lingkungan komunitas seniman dari ketoprak hingga campursari. Soimah ingat, dahulu sepulang sekolah ia sering dijemput oleh tantenya. Tak tahu apa-apa, ia tiba-tiba sudah didaftarkan lomba menyanyi. “Herannya saya selalu juara satu. Tante saya, orang paling berjasa atas keberhasilan saya,” ungkap sinden yang pernah manggung di Park Avenue, New York, AS, tahun 2011 lalu, ini.

Pukul 14.45 – 16.00 WIB
Ruang Make Up Trans TV, Istirahat Siang
Selepas taping, Soimah melepas kebaya dan berganti kostum. Kali ini ia memilih mengenakan kebaya berwarna hijau dengan payet emas untuk acara live Show Imah. Selepas briefing dengan kru, ia kembali duduk santai dalam ruangan berbentuk persegi panjang, dengan lima cermin berjejer di satu sisi, dengan puluhan lampu di sepanjang tepi cermin. Di sebelah kanan, ada deretan 5 ruang ganti pakaian. Di sudut ruangan, terdapat sofa untuk istirahat.
Sekilas dari wajahnya terlihat keletihan. Kantong matanya cekung akibat kurang tidur. Di punggungnya, tampak guratan merah bekas kerokan. Hebatnya, ia tak pernah mengeluh. Ia tipe wanita pekerja keras. Baginya, tampil prima di atas panggung itu adalah bentuk profesionalisme.
“Ibulah yang mendidik saya untuk kerja keras dan mandiri. Semua anak-anaknya, perempuan dan laki-laki, tidak boleh nganggur,” ungkapnya. Soimah teringat, ketika masih kecil, ia sempat kesal pada ibunya. Pasalnya, jika teman-temannya banyak bermain, ia justru harus membantu orang tuanya bekerja di pasar sebagai pedagang ikan. Tiap pulang sekolah, Soimah kebagian tugas menimba air di sumur, lalu membawa ember penuh air tersebut untuk mencuci ikan. Setelah ikan bersih, ia masih harus menjemur dan membakar ikan-ikan tersebut. Pekerjaan itu ia lakukan dari siang sampai larut malam.
“Sampai sekarang tangan saya kasar. Bahkan dulu telapak tangan saya berwarna merah karena terlalu lama kena asap. Baru hilang setelah tinggal di Yogya,” ujarnya, sambil memamerkan telapak tangannya.
Tiap hari Soimah selalu bangun subuh untuk memecah es batu. Es untuk menjaga ikan-ikan tetap segar ketika dibawa ibunya ke pasar. Sekarang, ia mengambil hikmah dari kerja kerasnya. “Ketika hidup di Jakarta dengan jam kerja tidak wajar, saya biasa saja, karena saya sudah terbiasa sejak kecil,” katanya, tersenyum.
Di Jakarta, Soimah cepat meraih popularitas. Kurang dari satu tahun namanya sudah dikenal banyak orang. Tak heran, berbagai program acara pernah ia bawakan, seperti Segerr dan Sedap Malam. Ia juga kerap datang sebagai bintang tamu di acara Hitam Putih, OVJ, dan lain-lain. Puncaknya ketika Trans TV mengontraknya untuk acara Show Imah tahun lalu. Suatu kebanggaan!
Menurutnya, semua itu tak lepas dari gayanya yang nyeleneh, pakai kebaya namun bicaranya urakan. “Orang cantik di Jakarta jumlahnya jutaan. Cantik bisa dibuat, tapi berani gila, ini ciri khas saya,” jelasnya, optimistis.
Ibarat sebatang pohon, Soimah sadar dengan kondisinya sekarang yang berada di puncak. Terpaan angin gosip dan kabar miring bisa saja menjatuhkannya. Dicap sombong oleh banyak orang adalah risiko dari profesinya kini. Padahal, Soimah di layar kaca hanyalah akting belaka.
Awal ia tampil di televisi, banyak celaan datang justru dari komunitas sesama sinden. Mereka merasa sinden sepatutnya berperilaku halus, tidak pecicilan. Soimah dianggap merusak citra sinden. “Saya jelaskan, ini pilihan hidup, mencari duit di Jakarta tidak mudah. Kalau ingin menjadi sinden selamanya, ya, tidak apa. Tapi, kalau mau memperbaiki nasib, ya, harus berubah,” katanya. Kini, berkat Soimah, justru banyak sinden baru bermunculan di televisi.

16.30 WIB
Studio 2 Trans TV, Live Show Imah
Sore kian bergulir, Soimah kembali ‘manggung’. Kali ini, Show Imah kedatangan tamu Donna Harun, Shopia Latjuba, dan Ivan Fadilla beserta anak-anak mereka. Tema hari itu adalah hot mama, meski salah satu bintang tamunya pria. Dalam salah satu percakapan, Soimah menanyakan bagaimana cara Sophia mendidik anaknya, Eva Celia, yang sudah remaja. “Boleh, dong, Eva pacaran,” ujar Sophia.
Bicara tentang kedekatan ibu kepada anaknya, Soimah teringat anak keduanya, Diksa Naja Naekonang (7), yang curhat kepadanya. Diksa mengaku sedang naksir teman sekolahnya. “Saya pun bertanya lebih jauh, maksudnya bukan mendukung pacaran, tapi ingin agar anak dekat sebagai teman,” jelas Soimah, yang juga ibu dari Aksa Uyun Dananjaya (10).
Memang, waktunya bersama anak-anak sangat terbatas. Itu sebabnya, ketika di rumah Soimah memanfaatkan perannya sebagai ibu. Memandikan anak, mengantar jemput sekolah, hingga bersih-bersih rumah.
Bagi Soimah, wanita harus memiliki prinsip terhadap pilihan yang mereka buat. “Sebenarnya, saya tidak menuntut wanita harus bekerja. Kalau pilih jadi ibu rumah tangga, jadilah ibu rumah tangga yang baik. Tapi, kalau ingin berkarier, harus maksimal, jangan setengah-setengah,” jelas istri Herwan Prandoko (32) ini.
Menurut Soimah, apa pun profesi yang dipilih wanita, pasti ada yang dikorbankan. Ia mencontohkan dirinya, yang meninggalkan anaknya di Yogya, diasuh oleh kakak perempuannya. Ini pilihan yang berat karena banyak suara negatif yang menyatakan ia tega terhadap anak. “Saya harus memilih, ada keberuntungan yang saya dapatkan, saya maksimalkan. Kalau tidak maksimal, mending bekerja di Yogya, dekat anak-anak,” tegasnya.
Itu sebabnya, Soimah tak ingin setengah-setengah. Kerja kerasnya harus bisa membuahkan hasil yang sepadan dengan pengorbanannya meninggalkan anak-anaknya di Yogyakarta.
Kini, dengan nilai kontrak miliaran rupiah, ia sudah bisa berinvestasi dalam bentuk tanah dan rumah. Ia pun sudah mampu membeli rumah di kawasan Rempoa, Jakarta Selatan.
“Saya orangnya tidak bisa memegang uang tunai, segera saya belikan tanah. Sisanya saya pakai untuk membantu biaya sekolah adik-adik dan saudara-saudara di kampung,” jelas wanita yang mengoleksi 800 kebaya ini.

20.00 WIB
Studio 1 Trans TV, Syuting Live Yuk Keep Smile
Setelah istirahat 2 jam, Soimah kembali berdandan. Kali ini ia bergaya ala artis cilik Cindy Cenora. Ia memakai dress selutut bercorak polkadot, wig dengan rambut penuh kepang. Bersama teman-temannya, Omesh dan Wendy, mereka bertiga bergaya centil membawakan lagu anak-anak. Mengundang tawa para penonton di studio Trans TV yang tak pernah sepi itu.
Menilik masa kecilnya, tak pernah sedikit pun tebersit keinginan Soimah untuk menjadi artis. “Tidak ada cita-cita menjadi artis. Saya merasa semua ini keberuntungan. Selama ada kesempatan, kenapa tidak dicoba?” ujar wanita yang sempat kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.
Keberuntungan ini tentu saja diiringi dengan konsistensi Soimah untuk terus menghibur. Sebagai sinden, Soimah punya prinsip ketika menyanyi sebisa mungkin tidak lipsync. Jujur, ia cukup prihatin pada kenyataan banyaknya penyanyi baru yang suaranya pas-pasan hanya bermodal wajah dan kekayaan, akhirnya bisa membuat album dengan modal tampil lipsync di televisi.
“Mungkin terlihat tidak adil, karena ada banyak penyanyi yang memiliki kualitas bagus, tapi tidak punya kesempatan. Mereka kalah dengan yang punya uang. Jengkel, toh, tapi saya juga belum bisa berbuat banyak karena masih sebagai pelaku seni. Paling tidak saya memberi contoh, selalu menyanyi secara live,” ujarnya.
Meski bersuara merdu, Soimah justru dikenal publik karena lawakannya. Padahal, baginya, melawak paling susah dibandingkan menari atau menyanyi. “Perlu memutar otak terus-menerus, menimpali lawan main,” jelasnya.
Tantangannya tak hanya itu. Ia pun dituntut untuk selalu ceria, meski hati sedang sedih atau tidak mood. “Pernah enek, buntu, bosan dengan rutinitas. Tapi, begitu pulang ke Yogya, baru dua hari sudah kangen manggung lagi. Ini kepiye to (ini bagaimana)?” ujarnya.
Jarum jam mulai bergerak melewati angka dua belas. Tepat tengah malam, usai syuting, Soimah pamit kepada femina untuk pulang dan beristirahat. Ia memang harus bisa memanfaatkan waktunya sebaik mungkin. Untuk belanja, misalnya, ia hanya bisa sebulan sekali. Ia membeli bahan sekaligus dalam jumlah banyak. Meski letih, senyum tetap terukir di wajahnya. Bahkan ketika ia masih harus bertemu dengan para penggemarnya. “Memang, pekerjaan jika dilakukan dengan hati ikhlas tak pernah akan terasa membosankan,” katanya, menutup perbincangan hari itu.

Daria Rani Gumulya
Foto: Oshvaldo Fackar
Artikel ini pernah dimuat di majalah Femina edisi Annual 2014

Krisdayanti Mendekap Bahagia

Baginya, segala sesuatu akan indah pada waktunya. Termasuk, kesempatan keduanya dalam cinta dan karier.

Hidup seperti roda yang berputar. Krisdayanti (38) atau KD pernah mengecap manisnya hidup sebagai diva yang disanjung penggemar. Namun, perceraian juga sempat mengempaskannya ke dasar popularitas yang nyaris meredupkan pamornya. Kini, ia mampu menata hidupnya dan siap kembali ke dunia hiburan. Kepada femina, KD bercerita tentang alur hidupnya yang penuh pelajaran berharga.

KD1

Foto oleh Peter F. Momor untuk Femina

Menghadang Badai
Belakangan ini KD seolah menghilang dari hiruk pikuk hiburan tanah air. Memang, pelantun tembang Makin Aku Cinta ini tengah menikmati kesibukannya mengasuh dua malaikat kecilnya, Ariannha Amora Lemos (2) dan Kellen Alexander Lemos (9 bulan), buah cintanya dengan Raul Lemos.
Banyak yang menghubungkan absennya dari panggung hiburan ini dengan badai yang menimpa rumah tangganya. “Empat tahun ini saya melewati proses perjuangan yang panjang, kehilangan, keikhlasan, pencapaian, dan bisa tampil kembali di publik tentu tidak mudah. Sepertinya, waktu ini sudah cukup menjadi pembelajaran yang sangat berarti setelah perceraian saya,” ujar KD, membuka pembicaraan.
KD mengungkapkan, kandasnya rumah tangganya dengan Anang Hermansyah (44) sudah membuka jalan takdir yang berbeda, yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. “Saya percaya Tuhan memberikan hidayah buat saya. Tuhan memberi ganti berkah anak-anak, Amora dan Kellen begitu ajaib,” ujar wanita kelahiran 24 Maret 1975 ini.
Perceraiannya dengan Anang pada tahun 2009 ia sebut menjadi titik balik kehidupannya. Ia merasa kehilangan setengah dari jiwanya, Titania Aurelia Nurhermansyah (15) dan Azriel Akbar Hermansyah (13). Bahkan, ketika ia memberi uang kepada anak-anaknya itu, uang tersebut dikembalikan lagi.
“Walaupun secara fisik saya masih bisa bertemu karena mereka bersama ayahnya, yang saya yakin menjaga mereka dengan baik, secara mental saya kehilangan mereka. Saya pernah melalui malam-malam di mana saya hanya bisa menangis dan menahan rindu pada anak-anak,” jelasnya. Rasa pilu yang dirasakannya ketika kesulitan bertemu dengan Aurel dan Azriel ia curahkan lewat surat untuk kedua belahan jiwanya itu.
Setelah melewati masa pahit itu, ia mencoba fokus menjalani hidup barunya bersama Raul. KD mengaku, dalam tiap doa yang ia panjatkan, ia tak henti mengucapkan syukur tanpa meminta apa pun lagi dari Tuhan. Ia hanya ingin menjadi istri yang ikhlas dan sabar mendampingi suami.
“Orang lain menilai takaran kebahagiaan saya, padahal, saat ini saya tak mau melihat terus ke atas. Saya sudah pernah merasakan puncak popularitas yang begitu hebat. Tuhan mengganti kehilangan saya dengan sesuatu yang luar biasa. Buat saya, ini adalah pelajaran untuk lebih memperhatikan keluarga. Pekerjaan kini menjadi nomor sekian dari kehidupan saya,” ungkap KD, sambil tersenyum.
Bagi KD saat ini, bahagia adalah bisa mendengar tawa Amora dan Kellen tiap pagi. “Alhamdulillah, Tuhan baik kepada saya. Ia memberi saya dua anak laki-laki dan dua anak perempuan,” ucapnya, bangga.
Setelah berhasil menata hidupnya, ia pun berencana segera kembali ke industri musik yang membesarkan namanya. Bulan Oktober nanti, wanita yang melejit lewat ajang Asia Bagus ini akan merilis album barunya, bekerja sama dengan Warner Music. Ini semacam proyek reuni setelah 6 tahun ia tidak membuat album dengan Warner Music.
Menurutnya, tawaran dari Warner Music ini datang di saat yang tepat. “Jujur, saya tidak melakukan usaha sama sekali untuk kembali ke industri musik. Ini buah kesabaran saya dan dukungan tanpa henti dari Raul. Tuhan memberikan ini tepat pada waktunya,” jelas KD.

Melewati Kekacauan
Pertengahan tahun 2009 adalah masa-masa terberat KD menghadapi keretakan rumah tangganya dengan Anang. Pernikahan yang mereka rajut selama 13 tahun harus berakhir di tengah jalan. Proses perceraian yang memakan waktu hampir tiga bulan itu sangat menguras pikirannya. Ia merasa tertekan. Tiap hari, selama 24 jam, rumahnya didatangi wartawan infotainment.
“Mereka bahkan berpura-pura menjadi tukang bakso untuk mencari informasi sekecil apa pun tentang perceraian saya,” ungkapnya, sedih. Ia kecewa dan merasa diperlakukan tidak adil. Karena, banyak pasangan bercerai dengan kondisi yang lebih parah darinya, tapi tidak ada orang yang mengusik mereka.
“Saya sadar berita apa pun tentang saya menjadi komoditas publik,” ujarnya. Menjalani hari-hari yang sulit itu, dia hanya bisa diam. Baginya, diam lebih bisa memberinya kekuatan daripada banyak pernyataan yang ujung-ujungnya justru melukai hatinya dan keluarganya.
Meski urusan perceraian dengan Anang sudah selesai, hidupnya tak lantas jadi tenang. KD masih dihantui oleh pemberitaan publik atas kedekatannya dengan Raul yang disebut-sebut sebagai orang ketiga penyebab perceraian tersebut.
“Saya dan Raul sampai kucing-kucingan dengan wartawan. Bahkan, usai nonton midnight pukul dua malam, kami masih dibuntuti,” ungkapnya. Keadaan ini diperparah dengan pemberitaan akan status Raul yang belum mengantongi surat cerai dengan istrinya. Paparan media yang berlebihan dinilai menyudutkan mereka.
“Raul sangat terpukul dengan pemberitaan itu. Banyak pekerjaan yang sudah dipercayakan kepadanya, hilang begitu saja. Dia mengalami kejatuhan mental. Teman-teman pun ikut menyalahkan kami. Untuk menenangkannya, saya selalu bilang, ‘Kita bisa mengontrol diri kita untuk tetap diam, tetapi kita tidak bisa mengontrol orang lain untuk tidak menghakimi kita,’” ungkap KD, mengenang ucapannya dulu.
Karena merasa tak tahan dengan keadaan itu, mereka akhirnya berpisah pada April 2010. Raul merasa privasinya terganggu jika ia terus melanjutkan cintanya bersama KD. “Saat sedang menghadapi hujatan banyak orang, saya justru kehilangan soulmate. Saya stres, berat badan saya sampai turun drastis,” ujar KD, menahan tangis.
Imbas dari kasus itu, tak hanya Raul, KD pun kehilangan banyak pekerjaan. Show-nya di Malaysia dibatalkan. Saat itu, KD sempat curhat kepada sahabatnya, Siti Nurhaliza. “Dia bilang, ‘Bila saya di sudut kamu, nih, saya sudah gantung diri’,’” kata KD, menirukan ucapan Siti.
Namun, dengan sekuat daya yang tersisa, KD mencoba terus bersabar. Satu hal yang menguatkannya adalah dukungan keluarga dan sahabat dekatnya. “Mereka selalu membela saya ketika publik mencemooh saya,” jelasnya.
Hanya berselang tiga bulan setelah itu, Raul menyadari bahwa cintanya kepada KD begitu kuat. Bulan Juli 2010, Raul datang dari Timor Leste untuk meminta maaf kepada keluarga KD, sekaligus menunjukkan tanggung jawabnya dengan menjelaskan proses perceraiannya dengan mantan istrinya. “Ia bahkan mencium kaki mama saya dan minta maaf ke Yuni (Yuni Shara, kakak KD),” ungkap KD, dengan mata berbinar.
Baik KD maupun keluarganya luluh oleh kesungguhan Raul. Kekuatan cinta akhirnya mempertemukan Raul dan KD kembali. Kasih sayang yang diberikan Raul kepadanya membuatnya memiliki keberanian besar untuk kembali menatap masa depan. Tak menunggu terlalu lama, bulan Maret 2011 mereka resmi menikah.

Selalu Ada yang Baru
Seperti pasangan lain, rumah tangga KD dengan Raul juga tak terhindar dari pertengkaran-pertengkaran kecil. Perbedaan budaya, pekerjaan, dan selisih waktu 2 jam Jakarta-Dili menjadi kerikil bagi hubungan mereka.
“Dalam menjalani long distance relationship, kami harus memegang komitmen untuk saling percaya. Meski begitu, banyaknya perbedaan membuat kami harus belajar menyesuaikan diri tiap hari,” ujar KD. Berprofesi sebagai seorang kontraktor, pengetahuan Raul tentang profesi seorang penyanyi nol besar. Pelan-pelan, KD mulai mengenalkan Raul bagaimana tanggung jawab moral seorang penyanyi.
“Membuat album, mengadakan konser, menuju konser ada pre-production, post production, termasuk bahwa saya harus stand by beberapa jam sebelum tampil, itu semua Raul tidak tahu,” jelas KD.
Dari kebersamaan mereka, Raul mengetahui bahwa KD tak bisa lepas dari dunia musik. Raul pun memberi kepercayaan besar pada KD untuk kembali eksis di dunia hiburan. Untuk itulah, ia ‘legawa’ memutuskan untuk memiliki dua tempat tinggal, di Jakarta dan Dili.
KD pun berusaha memahami pekerjaan Raul sebagai pebisnis. “Ini simbiosis mutualisme yang saling melengkapi,” ujar KD. Menikah dengan pengusaha memberi banyak pelajaran bagi KD tentang bisnis. Salah satunya, dengan tidak menurunkan harga untuk show-nya. Padahal, selama ini KD sering menurunkan harga show karena merasa tak enak hati menolak klien.
“Sebagai artis, kamu punya nama dan nilai jual. Pamor boleh turun, tapi kamu jangan menurunkan nilai jual kamu,” ungkap KD, mengutip kata Raul. Kata-kata Raul mendongkrak rasa percaya dirinya.
Dukungan Raul pada karier bermusik KD juga ditunjukkan dengan membangun perusahaan rekaman, Raya Jaya Kreasindo. Meski begitu, Raul hanya mengizinkan KD untuk menerima pekerjaan maksimal dua hari dalam seminggu. “Itu pun saya harus kasih jadwal jauh-jauh hari ke Raul, agar tidak mengganggu waktu untuk keluarga,” jelasnya.
KD secara terang-terangan sangat mengagumi prinsip hidup yang dipegang Raul untuk memprioritaskan keluarga. KD menjelaskan Raul tipe family man yang sayang anak. Terbukti akan kemampuannya memandikan anak-anak. “Baru tiga bulan ini dia memuji saya sudah luwes merawat Kellen. Dulu mana pernah dia memuji saya,” ujar KD, sambil tersenyum.
Perubahan hidup KD yang signifikan setelah menikah dengan Raul juga dirasakan Yuni. “Beberapa waktu lalu, saya jalan-jalan dengan Yuni ke Singapura. Di sana, ia memegang tangan saya. Yuni bilang, ‘Sekarang telapak tangan kamu tidak lagi berkeringat, kamu sudah tenang, Yan,’” ucap KD, menirukan kata-kata Yuni.
KD mengakui, dulu tangannya selalu berkeringat karena selalu terburu-buru dan tak tenang. “Bahkan, duduk sekadar meletakkan pantat di rumah pun saya tidak pernah. Aurel dan Azriel itu seutuhnya diasuh mama saya,” ucapnya, blakblakan. Ia menyadari tak ingin mengulang kesalahan yang sama di pernikahan keduanya ini.
Kini, KD merasa mampu bernapas lega. Ia berusaha tidak menutup lembaran hidup yang telah berakhir, dan tetap mengambil tiap hal baik untuk disempurnakan di kehidupannya sekarang.
Jika melihat segala hal yang sudah ia punya, satu-satunya keinginan KD saat ini adalah kesehatan dan umur yang panjang. KD merasa Allah sudah memberi kepercayaan dengan titipan Amora dan Kellen. “Saya ingin melihat mereka tumbuh dewasa. Menikmati masa tua tanpa perlu kerja keras lagi,” katanya.
Untuk Amora, KD menaruh harapan agar ia kelak dapat meneruskan jejak langkahnya di dunia musik. Karena itu, sejak Amora kecil, KD sudah mengenalkannya pada musik klasik. Ia ingin ketika besar Amora pandai bermain piano. Sedangkan untuk Kellen, Raul dan KD sepakat akan mendaftarkannya ke Benfica Soccer Academy di Portugal. “Cita-cita, sih, ada, tapi dilihat apakah nanti Kellen minat pada sepak bola atau tidak,” jelasnya, menutup pembicaraan.

Daria Rani Gumulya
Foto: Peter F Momor
Artikel ini dimuat di Femina edisi 37, tahun 2013

Jelajah Hutan Bakau di Utara Jakarta

bakau2

Taman Wisata Bakau Angke, Pantai Indah Kapuk. Birunya langit dan danaunya seperti cermin. Foto: @dariagumulya

Enam tahun tinggal di Jakarta, setiap akhir pekan tidak ada pilihan lain kecuali jalan-jalan ke mal, mal dan mal. Untuk melepas penat, sesekali bolehlah kalau ada uang lebih ke luar kota, atau jalan-jalan ke luar negeri. Tetapi kalau uang di dompet sedang minim, namun rasanya sudah kangen berat untuk melihat alam, saya mencari cara rekreasi hemat tanpa ke mal.

Saya memutuskan untuk menghabiskan Sabtu sore saya dengan mengunjungi Taman Wisata Alam Angke Kapuk, yang terletak di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Hanya 40 menit perjalanan berkendara menggunakan mobil dari tempat tinggal saya di Jakarta Timur. (kondisi jalan lancar karena hari Sabtu). Jalur tercepat menggunakan tol menuju arah bandara Soekarno Hatta, keluar di pintu tol Kapuk mengarah ke Yayasan dan sekolah Buddha Tzu Chi.
Dari situ, tinggal mengikuti petunjuk yang mengarahkan ke Taman Wisata Alam Angke yang terletak di belakang Yayasan tersebut.

Selain naik kendaraan pribadi, Anda bisa naik transportasi umum seperti taksi, atau Bus Kota Terintegrasi Busway (BKTB) Transjakarta, dengan jurusan Monas – PIK, turun di Sekolah Tzu Chi. Dari Yayasan Tzu Chi, tinggal jalan kaki paling hanya 10 menit saja. Hindari pergi ke sana pada siang hari karena panas terik matahari. Paling pas berkunjung pagi hari atau setelah jam 3 sore.

Tiket masuk wisata ini Rp25.000 per orang (turis lokal) sedangkan untuk turis mancanegara Rp 125.000. Untuk parkir per mobil dikenakan Rp10.000, sedangkan motor Rp5.000,-

bakau4

Jalanan sepanjang taman, dipenuhi pohon-pohon rindang. Foto: @dariagumulya

Apa saja yang bisa dilakukan di sana?
1. Menyusuri hutan bakau
Anda bisa merasakan kesejukan oksigen dari pohon-pohon yang rindang, bebas polusi udara dan suara. Hanya terdengar bunyi burung-burung dan gemercik air. Pemandangan seperti ini langka di Jakarta. Yang pasti, Anda yang suka selfie bakal girang karena tempat ini punya banyak spot untuk bereksperimen. Sebaiknya mengenakan sandal dan sepatu yang nyaman, karena sebagian besar jalan di atas danau terbuat dari kayu dan bambu.

bakau6

Foto saya @darigumulya menyusuri jalanan dari kayu.

2. Jelajah danau
Hal yang jangan terlewatkan yaitu menyusuri danau dengan perahu. Perahu dayung (cano) disewakan dengan membayar Rp100.000 per 45 menit (bisa muat 4 orang), sedangkan speed boat isi 6 orang Rp 300.000 dan isi 8 orang Rp. 800.000

bakau3         bakau5

bakau8         bakau7

3. Berkemah
Tak perlu memasang tenda, karena ada pilihan tempat kemah yang berbentuk seperti saung-saung dengan atap segitiga. Sewa mulai dari Rp300.000 hingga lebih dari 1 juta per malam, tergantung kapasitas dan fasilitasnya.

bakau

Foto: @dariagumulya

4. Menanam pohon bakau
Anda bisa juga menanam pohon bakau yang bisa dibeli di tempat ini. Harga per pohon Rp. 150.000, – sedangkan yang menggunakan papan nama Rp.500.000

bakau1

Foto: @dariagumulya

5. Mengamati burung-burung khas hutan bakau
Pengunjung bisa mendaki anak tangga untuk naik ke menara pandang, kira-kira tinggi menara ini 20 meter. Dari atas menara, Anda bisa melihat pemandangan hutan bakau yang luas dan juga pantai utara Jakarta.

Tak perlu khawatir kalau Anda lapar, karena ada kantin yang menyediakan aneka makanan. Namun, jika memungkinkan bawalah bekal untuk dinikmati di area terbuka bersama keluarga, pasti lebih menyenangkan. Nah, sekarang percaya ‘kan di Jakarta masih ada alam bebas yang mudah dijangkau. Selamat jalan-jalan!

Alternatif Belajar Baru dari Ainun Chomsun

Keinginannya belajar membawanya pada ide membagi ilmu secara gratis.

Akademi Berbagi (Akber), gerakan yang digagas Ainun Chomsun melalui Twitter, awalnya tidak mudah diterima oleh mereka yang tidak bersentuhan dengan dunia online. Meski sempat tidak dipercaya, dianggap main-main, disangka multilevel marketing (MLM) hingga pembentukan partai baru, Ainun tetap konsisten dan berkomitmen dengan apa yang ia lakukan, membagi ilmu secara gratis kepada orang lain.

BERAWAL DARI TWITTER
Dimulai dari tekad Ainun belajar copywriting tanpa kuliah, pada bulan Mei 2010, wanita yang aktif di Twitter dengan nama @pasarsapi ini memberanikan diri menyapa pakar periklanan, Subiakto Priosoedarsono, CEO Hotline. Ia memperkenalkan diri dan menyatakan keinginannya belajar copywriting. “Bagi saya, belajar kurang jika hanya kuliah, baca buku, atau melalui online. Berdiskusi dengan pakarnya juga sangat penting,” jelas wanita kelahiran Salatiga, 9 September 1973, ini.
Gayung pun bersambut. Subiakto membalasnya, dan bersedia mengajarkan, dengan syarat minimal 10 orang yang ikut. Nyatanya, dalam waktu tiga puluh menit, sudah lebih dari 20 orang mendaftar. Namun, ia membatasi hanya 25 peserta agar bisa lebih konsentrasi. Pada 9 Juni 2010, mulailah kelas pertama, di kantor Hotline, dan diteruskan dengan kelas-kelas selanjutnya. Kegiatan belajar itu pun disebut Akademi Berbagi (Akber), dengan akun Twitter, @akademiberbagi sebagai sarana utamanya.
Berawal dari situlah, Akber akhirnya menjadi gerakan sosial nirlaba tempat berbagi pengetahuan, wawasan, dan pengalaman yang bisa diaplikasikan langsung oleh peserta. Bentuknya adalah kelas-kelas pendek yang diajarkan oleh ahli dan praktisi. Ruang kelasnya pun berpindah-pindah sesuai ruang kelas yang disediakan para donatur ruangan.
Setelah kelas copywriting, digelarlah kelas kedua, jurnalistik, pada 16 Juli 2010, oleh Budiono Darsono, Pemimpin Redaksi detik.com yang berlangsung di Gedung ANTV. Menariknya, sebagian peserta yang ikut ada yang tunanetra. “Saya terharu, meski dalam keterbatasan, mereka mau belajar serius.”
Di awal kemunculannya, banyak pihak yang sangsi dengan tujuan kegiatan Akber. Namun, dengan komitmen dan misi yang kuat, perlahan-lahan gerakan Akber mendapat tempat di hati pengguna Twitter. “Sikap konsisten kami menunjukkan hasil, dan Akber amat beruntung mendapat endorser dari dua guru yang kredibel,” ungkap peraih penghargaan 100 Young Women Netizen 2011 dari Marketeers ini.

DARI JAKARTA HINGGA ENDE
Kegiatan belajar-mengajar ini berkembang pesat, bahkan setiap hari ada kelas. Materi yang diajarkan bisa berbagi topik, antara lain Social Media, Advertising, Public Speaking, Entrepreneurship, Fotografi, dan lain sebagainya. Ainun mengaku mendapat ide segar materi yang diajarkan adalah dari hasil interaksi dan permintaan followers-nya. “Pernah, ada kelas tentang sound engineer. Saya baru tahu ada ilmu tersebut, bahkan ternyata ada gurunya juga!” kenangnya.
Setelah berlangsung beberapa bulan, Ainun sempat kewalahan mengatur jadwal Akber dan pekerjaannya. Kelas pun ia batasi menjadi seminggu sekali. Namun, ada kelas intensif, seminggu 3 kali pertemuan, dengan peserta terbatas dan tidak boleh diganti. Menariknya, pembiayaan untuk guru, peserta, bahkan tempat untuk ruang kelas Akber, semuanya gratis. Itu semua didapat Ainun dari jaringan pertemanan di Twitter. Selain itu, kegiatan Akber selalu di-live tweet, sehingga orang yang tidak datang tetap bisa mengikuti pelajaran.
Melalui internet yang tak kenal batas, pesan positif yang diusung Akber cepat menyebar ke kota-kota lain. Sekarang, kelas Akber sudah ada di lebih dari 21 kota di Indonesia. Kota terakhir yang bergabung ialah Ende, bagian dari Pulau Flores. “Tulang panggung Akber adalah relawan, dan saat ini jumlahnya lebih dari 100 orang,” jelasnya.
Untuk membuka kelas Akber di suatu kota, biasanya ada orang yang mengajukan diri. Lalu Ainun akan membalas e-mail mengenai detailnya. Intinya, kelas harus berjalan rutin. Jika orang tersebut sanggup, maka publikasinya akan dibantu.
“Orang yang memiliki kesadaran diri untuk konsisten membuat kelas disebut kepala sekolah,” ungkapnya. Syarat lain, guru yang mengajar harus dari daerah setempat, karena mereka yang tahu persis kebutuhan di daerahnya. Ainun percaya, setiap daerah pasti ada orang hebat dan pintar yang mau mengajar, hanya belum ada forumnya. Selebihnya, guru dari Jakarta yang kebetulan berkunjung ke daerah akan diminta untuk mengajar di sana.
Kelas sudah berjalan rutin. Dan ia bercita-cita membuat training untuk guru-guru di daerah, terutama di Indonesia bagian timur. Menurutnya, guru lokal sangat berpotensi, namun kurang percaya diri untuk mengajar. “Guru, bagi mereka adalah guru sebenarnya. Padahal, manajer, pengusaha, atau sutradara bisa jadi guru di Akber,” jelasnya.
Kelas yang paling seru adalah ketika Akber mendatangkan ahli media sosial dari Manchester University. Peserta yang datang hingga 300 orang. Bahkan, banyak peserta merupakan orang penting yang sudah memiliki kedudukan di berbagai kantor. Sedangkan kelas paling berkesan yaitu kelas yang digelar untuk anak-anak pemulung di Bantar Gebang, 17 Agustus 2011, yang diawali upacara bendera pagi.
“Warga di sana tidak mempunyai KK dan KTP, sehingga anak-anak tidak bisa sekolah formal. Bayangkan, seumur hidup mereka belum pernah merasakan upacara bendera,” kenangnya, tersentuh.
Sore harinya, kelas dimulai dengan materi kreativitas yang diajar oleh 3 guru dari ITB (Institut Teknologi Bandung). “Anak-anak senang cara belajar yang kreatif. Jika dididik dengan cara yang tepat, anak-anak tersebut bisa menjadi orang yang hebat,” ungkap peraih penghargaan Community Leader-Digital Talent Award dari BUBU Award 2011 ini.
Satu setengah tahun Akber berdiri, dan kesuksesannya telah membawa muridnya mendapatkan pekerjaan. Ada yang diterima bekerja setelah ia mengikuti kelas copywriting Subiakto, ada juga mahasiswa tingkat akhir yang diterima magang di sebuah PR agency. “Sekarang, banyak guru Akber yang memublikasikan lowongan atau magang di kantornya melalui akun @akademiberbagi,” ungkapnya.
BERGELUT DI DUNIA ONLINE
Sehari-hari, Ainun bekerja sebagai social media director di perusahaan digital agency, Manifesto. Pekerjaannya banyak mengandalkan koneksi internet, dengan waktu kerja fleksibel, karena bisa bekerja di mana saja. “Tapi, saya tetap ke kantor untuk meeting dan brainstorming dengan klien.”
Pengalaman pertamanya terjun di bidang digital adalah tahun 2002, saat ia bergabung dengan Wahid Institut dan membuat official portal K.H. Abdurrahman Wahid, http://www.gusdur.net. Selanjutnya, Ainun menjabat sebagai manajer operasional, dan terakhir office manager sampai tahun 2009. “Saya belajar dunia digital secara autodidak. Saat membuat website, ilmu saya nol, namun saya nekat terus belajar,” ungkapnya.
Menurut Ainun, dapat membantu orang lain memperoleh ilmu merupakan kebahagiaan yang tak ternilai. Baginya, sukses adalah ketika orang berterima kasih kepadanya, karena mendapatkan sesuatu yang lebih dari Akber.
Bahkan, ketika anak semata wayangnya, Haiqa Matahati (8) menanyakan mengapa ia mau bekerja tanpa dibayar, Ainun dengan lembut menjelaskan, berbagi akan membuat seseorang mendapat banyak kenalan dan pengalaman. Semua itu nilainya lebih tinggi daripada uang.

“Melalui Akber, saya ingin memberikan dasar pada Haiqa untuk berbagi. Saya berharap, kelak ia melakukan hal yang lebih besar manfaatnya dari yang saya lakukan sekarang,” ungkap Ainun.

Ingin Bergabung?
http://akademiberbagi.org
E-mail: akademiberbagi [at] gmail [dot] com
Twitter: @akademiberbagi
Facebook Fanpage: AkademiBerbagi

Daria Rani Gumulya

Artikel ini sudah dimuat di Femina, Mei 2012.

Setenang Cinta Rianti dan Cas

Untitled

Foto Rianti dan Cas Dokumentasi Femina

Oleh waktu, kesetiaan cinta mereka akan teruji.

Tidak mudah mengarungi bahtera rumah tangga di usia yang terbilang muda. Ego yang besar dan perbedaan kebiasaan bagai kerikil yang mampu menghalangi keharmonisan pasangan. Namun, semua itu bisa dilalui oleh Rianti Rhiannon Cartwright (29) dan Alfoncius Nainggolan (29). Dua tahun menikah, kehidupan mereka jauh dari terpaan gosip miring. Benarkah kehidupan mereka ‘adem ayem’?

Tak Bisa Tidur Sendiri
Rona bahagia terpancar, ketika femina bertemu Rianti dan Cas, di sebuah studio foto beberapa waktu yang lalu. “Saya baru saja pulang syuting FTV di Jogja selama 6 hari,” ujar Rianti, tersenyum, membuka pembicaraan. Di tengah kesibukannya, ia sangat bersemangat mengurus bisnis spa miliknya yang sudah berjalan hampir setahun.
Senada dengan Rianti, suaminya, Alfoncius atau yang akrab disapa Cas Alfonso pun sedang giat-giatnya bekerja. Ia serius membesarkan bisnis studio rekaman, StereoKings. Cas bersemangat cerita tentang 5 lagu buatnya dalam album pertama boyband XO9.
Tak hanya itu, Cas kini menikmati profesi baru sebagai pebisnis kuliner. Beberapa bulan lalu, ia membuka café bernama Frangipani, tepat di sebelah Bale-Bale Spa milik Rianti. “Tujuannya agar para suami yang menunggu istrinya spa, bisa duduk santai sambil minum kopi,” jelas Cas, sambil tersenyum. Selain modal, ia terjun langsung mendesain konsep cafe hingga menentukan menu yang disajikan. “Seru! Setiap hari saya ke kafe, hanya untuk melihat berapa orang yang datang,” ujarnya sambil tertawa.
Perbedaan profesi diantara mereka tak jarang menimbulkan kemelut kecil dalam rumah tangga. Pekerjaan Cas sebagai musisi menuntutnya pulang larut malam jika ia harus mengurus rekaman beberapa penyanyi. Padahal, Rianti inginnya Cas bekerja dengan jadwal 9 to 5. “Saya harus mengikuti cara kerja klien, kalau jam 10 malam belum pulang, Rianti pasti menelepon saya, dia tidak bisa tidur sebelum saya pulang,” ujar Cas sambil menatap mesra pujaan hatinya. Rianti pun perlahan mengerti akan jadwal kerja Cas yang sangat fleksibel.
Diantara pekerjaan yang menyita waktu, kedua pasangan ini selalu mencari quality time terbaik mereka. “Jika ada job ke luar kota, sebisa mungkin weekend saya sudah ada di Jakarta,” ungkap Rianti. Ketika keduanya di Jakarta pun, mereka selalu menyempatkan diri lunch atau dinner bersama, janjian bertemu di tengah-tengah. Hal terburuk yang pernah terjadi, ketika Rianti syuting di Imogiri, yang tak ada sinyal, ia langsung ‘mati gaya’ tidak bisa menelepon suaminya. “Ya sudah, saya tahan kangen saja,” ungkap wanita yang mengaku tidak bisa menahan kangen lebih dari 3 hari ini.
Tepatnya 17 September lalu, secara sederhana, pasangan ini merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang kedua. Ditemani cahaya lilin temaram dan musik jazz yang mengalun lembut di sebuah bistro, mereka bercanda sambil mengenang masa-masa indah selama 2 tahun ini. “Kami ngobrol, sambil makan steik favorit saya. Kalau biasa di rumah makan perkedel, sekarang makan steik,” ungkap Rianti, disambut tawa meriah suaminya.
Bagi Rianti, setelah dua tahun menjalani biduk rumah tangga bersama Cas, ia merasa tenang dan lebih menghargai hidup “Saya bersyukur bertemu pendamping yang bisa diandalkan dalam segala hal. Its worth the fight and its worth the effort in the end,” ungkap Rianti. Cas menambahkan, mereka berdua banyak belajar dari pernikahan orangtua masing-masing, yang mampu bertahan lebih dari 30 tahun. Mereka berharap janji setia yang mereka ikrarkan dua tahun silam akan terus terjaga hingga usia senja.

Hobi ‘Ajaib’ Pasangan
Meski pasangan ini telah memiliki rumah sendiri, namun sehari-hari Rianti dan Cas mengaku masih tinggal di rumah orang tua Cas di kawasan Kalibata Indah. “Karena Cas anak bungsu, maka kami yang sering menemani orangtua Cas,” ungkap Rianti, yang merasa sangat disayang oleh kedua mertuanya. Di akhir pekan, mereka banyak menghabiskan waktu menonton DVD di rumah. “Sesekali, kami pergi ke rumah keluarga saya di Bandung,” ujar mantan VJ MTV ini.
Di rumah, ternyata Rianti jarang memasak untuk suaminya. “But she learns day by day, dia sudah pintar membuat cookies, cake, cupcakes,” ungkap Cas membanggakan istrinya. Suatu kali, Rianti membuat surprise dengan memasak pasta hanya untuk membuktikan kepada Cas bahwa dirinya bisa memasak. “Enak! sampai saya lupa diet!” ucap Cas, sambil mengangkat dua jempolnya.
Seperti layaknya pasangan lain, pertengkaran kecil pun hampir mewarnai rumah tangga mereka. Rianti paling sebal kalau Cas pulang dan membawa sepatu baru. “Hampir tiap bulan, dia membeli sepatu baru, padahal kamar kami sudah tidak muat lagi menampung sepatu barunya!” keluh Rianti. Cas pun hanya senyum-senyum tak berkutik.
Rianti kemudian membeberkan ‘kegilaan’ Cas akan sepatu. Dari kegemarannya belanja online, menitip teman yang pergi di luar negeri, hingga rela antre pagi buta demi memburu model terbaru di suatu toko di Menteng. Untungnya, Cas orangnya rapi dan bersih, 50 pasang koleksi sepatunya kini ditata apik dalam shoes storage. Rianti pun tak lagi ‘ngomel’ padanya.
Cas tak mau kalah, ia pun membuka hobi ‘ajaib’ Rianti mengoleksi tea cup dari berbagai negara. Suatu ketika saat mereka pergi ke Australia, Rianti bersikeras mampir ke toko perabotan. Dia membeli cetakan cup cake dan 2 tea cup set yang beratnya hampir 7 kilogram. “Babe, ini berat sekali! Bagaimana membawanya?” kenang Cas yang kala itu kebagian tugas membawa belanjaan istrinya.
Dan benar saja, mereka kerepotan membungkus tea cup tersebut agar tidak pecah di bagasi pesawat. “Dulu saya pikir buat apa beli barang seperti itu, tapi saya sadar setiap orang memiliki kegemaran masing-masing,” ujar Cas, yang akhirnya belajar mengerti hobi istrinya.
“Dulu waktu pacaran, rasanya sebal jika bertengkar dan tidak bisa bertemu. Sekarang karena bertemu setiap hari, setiap masalah justru cepat selesai. Dia selalu punya cara meluluhkan hati saya, dengan membuat saya tertawa!” ungkap Rianti, melirik Cas di sampingnya. “Sampai sekarang, saya tidak bisa marah sama dia, I don’t know why?” ujar Cas dengan mata berbinar.
Melihat perjalanan kisah mereka yang indah, ada satu pertanyaan yang masih dinantikan oleh publik. Bagaimana dengan momongan? “Sudah ingin banget! Laki-laki-perempuan bagi kami sama saja. Kami akan menerima pemberian Tuhan dengan penuh syukur, mohon doanya,” ungkap Rianti menutup pembicaraan.

DARIA RANI GUMULYA
Artikel ini dimuat di Femina, Maret 2013

Acha Septriasa Menembus Batas

Berani keluar dari zona nyaman membawa aktris ini menapaki tangga kemenangan.

Bulan Desember lalu menjadi momen tak terlupakan bagi Acha Septiasa (23). Akhirnya, setelah 7 tahun malang-melintang di dunia perfilman, keseriusan dan kualitas aktingnya mendapat pengakuan. Ia menjadi Pemeran Utama Wanita Terbaik di Festival Film Indonesia 2012. Itulah penghargaan tertinggi sepanjang kariernya dalam akting. Setidaknya, hingga saat ini.

acha

Foto Acha Dokumentasi Feminagroup

TITIK BALIK
Acha tak pernah bermimpi untuk bisa meraih Piala Citra. Nyatanya, akting gemilang di film Testpack, You’re My Baby berhasil mengantarkannya ke gerbang kemenangan. Ia berhasil menyisihkan Jajang C. Noer (Mata Tertutup), Atiqah Hasiholan (HelloGoodbye), Annisa Hertami (Soegija), dan Geraldine Sianturi (Demi Ucok), yang juga menjadi nominator Pemeran Utama Wanita Terbaik.
“Saya benar-benar tak menyangka nama saya keluar sebagai pemenang aktris terbaik FFI. Bangga rasanya. Perjuangan panjang saya berakting di 11 film, akhirnya berbuah manis,” ungkap wanita kelahiran Jakarta, 1 September 1989, ini haru.
Karena itu, meski sedang sibuk syuting film terbarunya, Acha meminta izin kepada sutradara untuk terbang ke Yogyakarta, menghadiri perhelatan film akbar tersebut. “Lolos hingga tahap nominasi 5 besar saja saya sudah sangat bersyukur,” ujarnya.
Penghargaan itu bukan hanya menjadi puncak pencapaian karier sebagai aktris, penghargaan itu seperti menjadi titik baliknya. “Jika dulu saya sempat ragu memilih antara menyanyi atau berakting, penghargaan ini membuat saya makin yakin untuk fokus berakting saja,” ungkapnya. Mulai saat ini, Acha hanya mau bernyanyi untuk soundtrack film yang ia bintangi saja.
Berakting di film Testpack, You’re My Baby menempa kematangannya sebagai aktris. Perannya sebagai Tata, seorang istri yang depresi karena tak jua hamil setelah tujuh tahun berumah tangga, sempat membuatnya tidak percaya diri. “Saya dipaksa keluar dari zona nyaman. Ini peran pertama saya sebagai istri. Sangat berbeda dari peran-peran yang pernah saya mainkan. Butuh penghayatan ekstra agar bisa larut dalam kesedihan Tata,” ujarnya.
Sebelum syuting, selama sebulan sutradara Monty Tiwa melatih kepekaan acting Acha agar sesuai dengan karakter yang ia perankan. Beruntung, Monty membebaskan Acha untuk memilih lawan mainnya di film tersebut. “Saya pilih Reza Rahadian karena kebetulan kami pernah bermain di film yang sama sebelumnya. Jadi, saya tahu betul kualitas aktingnya,” ujar penggemar Natalie Portman ini.
Acha mengakui, berakting sebagai wanita dewasa usia 30-an memang tidak mudah. Apalagi, film ini mengangkat konflik internal dalam hubungan suami istri. Untungnya, ia dan Reza memiliki chemistry yang kuat. Hal itulah yang membuatnya nyaman berakting sebagai pasangan suami istri dengan Reza. Karena itu, Acha menganggap film ini sebagai proyek impian yang menjadi kenyataan. “Tak ada yang lebih luar biasa dari bekerja sama dengan sutradara hebat dan lawan main yang sempurna, untuk film dengan cerita yang tak biasa,” ungkapnya, bersyukur.

MIMPI TERPENDAM
Awal tahun 2012, ia telah meraih gelar Bachelor of Arts di bidang Komunikasi Massa dari Limkokwing University of Creative Technology, Malaysia. Setelah lulus, ia sempat ingin banting setir menjadi wanita karier yang bekerja nine to five di kantor.
“Saya sudah menjalani tahap wawancara kerja di suatu perusahaan minyak asing. Namun, setelah saya pertimbangkan matang-matang, saya tunda dulu keinginan menjadi wanita karier,” jelas penggemar tiramisu cake ini.
Ia bercerita, sebenarnya, ayahnya sangat mendukung keinginannya untuk menjadi wanita karier dibandingkan menjadi aktris. “Ayah sedikit sedih karena saya tidak mengambil pekerjaan itu,” ungkapnya. Menurutnya, ayahnya sering mengkhawatirkannya yang harus berkecimpung di dunia hiburan yang glamor. Namun, Acha berhasil meyakinkan ayahnya sehingga ia diberi kepercayaan untuk kembali berkarya di dunia hiburan.
Di sisi lain, jalan hidupnya pun membawanya kembali ke dunia akting. Terlepas dari usahanya menjadi wanita karier, di sepanjang tahun 2012, ia malah kebanjiran kontrak main di beberapa film dan FTV. Setelah Testpack, You’re My Baby, tahun 2013 ini para penggemar Acha akan melihat lagi aktingnya di film Rectroverso, dan film Lupus remake yang masih dirahasiakan judulnya.
Jika proses syuting Rectroverso sudah selesai, saat ini, Acha tengah disibukkan dengan jadwal syuting film Lupus remake. Sedikit bocoran, di film itu, ia berperan sebagai Poppy, kekasih Lupus. “Ini juga tantangan besar bagi saya. Bayangkan, di usia 23 tahun, saya masih dipercaya berperan sebagai anak SMA!” cetusnya, tertawa.
Untuk mendalami karakter Poppy, Acha mengaku banyak belajar dari tokoh-tokoh Poppy di film-film sebelumnya. “Saya belajar dari film-film Lupus yang sudah ada. Mulai dari kemunculan Poppy pertama kali yang diperankan Nurul Arifin hingga yang diperankan Mona Ratuliu,” paparnya. Setelah melihat berbagai karakter Poppy, Acha berniat memainkan sosok Poppy sesuai dengan interpretasinya, berbeda dengan yang sudah ada.
Selain akting, Acha sebenarnya memiliki cita-cita lain yang masih ingin dikejarnya: menjadi makeup artist profesional. Acha berpendapat, regenerasi aktris di Indonesia sangat cepat. Berbeda dengan aktris di luar negeri yang masih bisa eksis sampai usia berapa pun. Karena itulah, Acha berpikir untuk menciptakan karier yang bisa bertahan lama.
Kegemarannya merias wajah berkembang sejak kuliah. Dulu, ia sering diminta untuk merias teman-temannya ketika ada acara kampus, seperti fashion show atau pertunjukkan drama. Ketertarikannya pada tata rias wajah dan kegemarannya belajar hal baru mendorongnya untuk segera menimba ilmu tata rias wajah secara serius. Maklum, wanita ini memang ingin memanfaatkan masa mudanya untuk mempelajari hal-hal yang disukainya.
“Sekarang, saya sedang antusias browsing sekolah tata rias wajah. Pilihannya antara London atau Boston. Saya memang tidak memilih Paris karena kendala bahasa,” ucap Acha dengan mata berbinar. Ia bermimpi suatu saat dapat membuka bisnis beauty house, tempat untuknya mengaktualisasikan bakatnya merias wajah.
Ternyata, sifatnya yang selalu ingin belajar ini sangat berpengaruh ketika memilih kekasih. Sambil tersenyum tersipu, ia menjelaskan, “Pacar saya sekarang bukan dari kalangan artis. Dia bekerja di bidang yang berbeda. Seru, karena saya banyak belajar hal-hal baru yang tidak saya ketahui darinya.”

DARIA RANI GUMULYA
Artikel ini dimuat di Femina, F2, Januari 2013

Melucuti Pikiran Reza Rahadian

Misinya sebagai aktor hanya satu: mengajak penonton untuk melihat perspektif hidup yang berbeda.

reza rahadian

Foto Reza Rahadian dokumentasi Femina

Kesuksesan film Habibie & Ainun, yang menarik 4 juta penonton dalam waktu 5 pekan setelah dirilis, mengantarkan Reza Rahadian (26) ke puncak popularitas. Kini, ke mana pun ia pergi, sekumpulan fans siap mengejarnya demi untuk berfoto bersama. Tapi ternyata popularitas tak mengubah pribadinya yang sederhana. Ia tetap Reza, aktor berbakat yang mendedikasikan diri sepenuhnya pada seni peran, dunia yang ia cintai.

Mengimbangi Legenda
Mengikuti perkembangan kariernya sebagai aktor, sulit rasanya membayangkan Reza akan menapaki jalan lain selain seni peran. Tapi, pria yang mengidolakan aktor Morgan Freeman ini punya mimpi besar lain di belakang kamera. Berbekal ketajaman mata sineasnya, Reza sempat mencoba menjadi sutradara. Tanpa banyak gembar-gembor, ia mengawali mimpinya ini melalui sebuah film independen (indie) berjudul Sebelah yang dibuat pada tahun 2011.
Tahun ini, Reza mantap untuk membuat film indie baru yang rencananya akan didistribusikan secara komersial di bioskop seluruh Indonesia. “Konsepnya omnibus, kumpulan film pendek yang ada benang merahnya,” jelas pria kelahiran 5 Maret 1987 ini.
Sebagai sutradara, Reza merasakan proses berkarya yang jauh berbeda dari akting, “Saya harus mampu meredam ego. Bagaimana caranya tidak terpancing emosi dan memaksakan kehendak pemain.” ungkap penyuka warna biru ini.
Menurutnya, meredam ego dalam artian bersikap tegas, namun tidak melulu memaksakan kehendak.. “Kadang-kadang ide dari pemain atau orang lain justru lebih kreatif. Kenapa tidak dicoba? Kalau egoistis dan susah menerima ide dari orang lain, mana mungkin hasilnya akan lebih baik?” ungkap salah satu juri Wajah Femina 2012 ini.
Hal terberat sebagai sutradara baginya, bagaimana menjadi leader yang baik, harus sanggup membawa seluruh tim dari berbagai departemen untuk menjalankan tugas sesuai dengan gambaran visual yang ia inginkan.
Meskipun Reza menikmati kesibukan barunya sebagai sutradara, toh, ini tidak berarti ia akan beralih profesi. “Saya masih cinta akting di depan kamera,” ujarnya, sambil tersenyum.
Kecintaannya pada akting terbukti dengan produktivitas karyanya. Baru-baru ini, Reza telah merampungkan film terbarunya, Finding Srimulat, yang rencananya akan dirilis bulan April. Film yang merupakan tribut untuk grup lawak legendaris itu bertujuan untuk mengingat dan membawa Srimulat kembali ke panggung pertunjukan.
Menurut Reza, Srimulat merupakan legenda panggung Indonesia yang sudah hampir dilupakan bangsa sendiri, padahal kontribusi mereka luar biasa pada seni pertunjukan bangsa Indonesia. “Ini merupakan ide mulia dari sutradara dan penulis skenario Charles Gozali. Jadi, tidak ada alasan bagi saya untuk menolak tawaran film ini,” ungkapnya.
Di film ini, Reza berperan sebagai Adika Fajar, seorang yang sedang berkarier di sebuah event organizer. Reza berpasangan dengan Rianti Cartwright, yang memerankan Astrid, istri Adika. Reza menggarisbawahi, tema film ini lebih fokus pada perjuangan Adika menyatukan kembali beberapa personel Srimulat yang masih tersisa. Walau beraliran drama, ia menjamin film ini sarat adegan dan dialog yang bisa mengundang tawa penonton.
“Skenario yang unik dan spontanitas dari personel Srimulat luar biasa, membuat saya harus berusaha keras mengimbangi akting para komedian senior, seperti Mamiek, Tessy, dan Kadir,” tutur Reza.

Kepuasan dari Penonton
Reza mengawali karier di dunia hiburan di usia 17 tahun, saat terpilih menjadi finalis model majalah remaja. Di umur yang sama, ia mencoba berakting di sebuah sinetron. Perlahan namun pasti, Reza terus mengasah bakat aktingnya. Ia pun merambah dunia layar lebar. Sejak tahun 2007 hingga saat ini, ia sudah membintangi 21 judul film, termasuk 6 film di sepanjang tahun 2012.
“Bagi saya, baik FTV, film layar lebar, maupun panggung, semua adalah wadah untuk mengeluarkan ekspresi. Saya tidak mau membatas-batasi wadah tersebut. Lebih baik saya fokus berakting sebaik mungkin,” ungkap Aktor Terbaik Piala Citra tahun 2010 ini.
Sudah lama berkecimpung di dunia film, ternyata ia tak begitu saja menemukan passion-nya. Ia mengaku baru menetapkan fokusnya di seni peran ketika ia berakting di film Perempuan Berkalung Sorban (2009). Di film inilah ia pertama kali meraih penghargaan FFI sebagai Pendukung Pria Terbaik. “Itu titik balik saya, saat di mana saya menyadari bahwa saya sangat mencintai pekerjaan ini,” ujar Reza, yang sering menikmati me time di coffee shop.
Banyaknya penghargaan dan pujian juga tak membuatnya puas diri. Baginya, kepuasan berakting didapat ketika peran yang ia bawakan berdampak dan menyentuh hati penonton. “Bisa jadi peran itu sebuah refleksi hidup mereka (penonton),” ungkapnya. Sebuah film ia nilai berhasil ketika dapat mengubah pola pandang seseorang.
Seperti pengalamannya setelah bermain dalam film Testpack, You’re My Baby. Film tersebut bercerita tentang pasangan yang susah mempunyai anak. Pesan di film ini kuat, bahwa tujuan menikah bukan semata-mata untuk mempunyai anak. “Ada seorang bapak yang mengirim e-mail kepada saya, pandangannya berubah setelah menonton film Testpack. Ini sungguh lebih berharga dari piala apa pun. Dia satu dari ribuan penonton yang jujur, tidak memiliki tendensi apa pun,” ujar Reza, terharu.
Sambil menikmati makan siangnya, Reza mengatakan, seperti pekerjaan lain, akting perlu kerja keras, tidak bisa hanya dijalani setengah hati. Menghafal dialog hanya sebagian kecil dari tantangan profesinya. “Seni peran bukan hanya soal mengucapkan dialog, tapi bagaimana akhirnya memahami dan mengerti betul apa yang akan disampaikan,” katanya.
Mencoba berpikir dari sudut pandang orang lain, belajar hal-hal yang sama sekali tidak ia kuasai –seperti belajar bahasa Jerman 300 halaman dalam tempo 4 hari untuk film Habibie & Ainun– adalah tantangan yang menyenangkan buat Reza. “Ketika mendapatkan sebuah peran, artinya tiap hari selama beberapa bulan mendatang saya akan terus memikirkan bagaimana membawakan karakter itu dengan baik,” ujarnya.
Sebagai aktor, Reza selalu menyempatkan diri menonton film-film asing. Tapi, hanya sekadar untuk menonton saja, bukan untuk menambah ilmu. Ia sengaja menghindari belajar lakon dari karakter film yang ia tonton. “Melihat dan mengagumi iya, tapi tidak boleh lupa, Indonesia atau Asia memiliki karakter tersendiri. Tidak bisa disamakan dengan Hollywood atau perfilman Eropa,” jelasnya.
Reza justru belajar akting dari membaca buku psikologi umum. Ia juga gemar ‘membaca’ orang, mengamati cara seseorang bersikap dan menanggapi sesuatu. Menurut Reza, hal-hal tersebut justru berguna untuk mengasah kepekaannya memahami karakter manusia.
Di akhir pembicaraan, Reza menyinggung perkembangan film Indonesia yang, meski mulai menurun secara kuantitas, meningkat secara kualitas. Tetapi, ia optimistis film-film baru kaya akan tema yang lebih beragam. “Makin banyak orang yang memproduksi film berkualitas tanpa memikirkan akan laku atau tidak. Sekarang, kembali ke penontonnya, mau menonton dan mengapresiasi film Indonesia atau tidak?” tantang Reza.

Daria Rani Gumulya

Artikel ini pernah dimuat di Femina, April 2013.