Bukan tampang cantik dan gaya bicara lembut, berani gila adalah caranya menaklukkan Jakarta.
Wajahnya tak pernah absen menghiasi salah satu stasiun televisi swasta dari Senin hingga Minggu. Meski ‘bergelar’ sinden, Soimah Pancawati (33) jauh dari kesan anggun dan lembut. Gayanya justru urakan dengan ciri khas tawanya yang menggelegar. Padahal, tiap tampil ia mengenakan kebaya. Menurutnya, berani gila adalah ciri khas yang membuatnya berbeda dari pesinden lain.
Di tanah air, Soimah adalah meteor dunia hiburan dengan nilai kontrak miliaran rupiah per program acara. Bukan tanpa kerja keras ia membangun kariernya. Ia terjun menekuni kesenian sejak umur 15 tahun. Bagaimana perjuangannya? Femina mengikuti kegiatan Soimah selama satu hari penuh.
Pukul 12.30
Ruang Make Up Studio 2 Trans TV, Jakarta
Tak mudah mengatur janji temu dengan Soimah. Jadwalnya padat sekali. Tiap hari, lebih dari 12 jam waktunya ia habiskan di Trans TV. Seperti pada siang itu, Soimah sudah selesai make up, berkonde, dan mengenakan kebaya warna merah cerah.
“Tiap hari seperti ini, ya, capek,” ungkapnya datar, tanpa ada nada keluhan, membuka percakapan dengan femina. Soimah lantas menjelaskan jadwal syutingnya yang padat. Untuk minggu ini, ia mulai dari taping acara Show Imah pukul 13.30 siang, acara yang melejitkan namanya ini. Setelah selesai, langsung dilanjutkan berkumpul dengan kru, briefing untuk persiapan live.
Pukul 16.30 selama satu jam, ia menjalani syuting live siaran Show Imah. Baru selepas acara, ia bisa manfaatkan waktu kosongnya untuk makan malam dan tidur. Di ruang make up ini pula biasanya Soimah beristirahat. Ia tak pernah lupa membawa kursi lipat, yang akan ia pakai sebagai alas tidur. Waktu istirahatnya pun tak lama, hanya 2 jam. Karena, pukul 8 malam Soimah sudah harus siap untuk membawakan acara Yuk Keep Smile yang berlangsung hingga tengah malam.
Begitulah rutinitas Soimah dari Senin hingga Jumat. Kecuali Sabtu dan Minggu, waktunya sedikit longgar karena tidak ada jadwal Show Imah, sehingga ia bisa berangkat ke studio sore hari.
“Trans TV adalah rumah pertama saya. Tapi, karena rumah sendiri malah jadi tempat numpang tidur saja,” ujar wanita kelahiran 29 September 1980 ini. Untung saja, dalam sebulan ia punya jatah libur seminggu untuk pulang kampung, me-refresh pikiran dan tubuh. “Makanya, syuting taping ini untuk simpanan ketika saya sedang di Yogya,” ujar Soimah, yang mengaku tak ada waktu untuk ke salon.
Meski sibuk, Soimah mengaku begitu mencintai pekerjaannya. “Saya ingin begini (berkarya) sampai dunia hiburan tidak menerima saya lagi. Sampai orang bosan melihat saya,” ungkapnya, sambil mengoleskan lipstik merah sebagai sentuhan terakhir penyempurna penampilannya hari itu. Menurutnya, berkesenian bukan semata-mata untuk mencari uang, namun sebuah kebutuhan jiwa.
Soimah ingat, ketika masih di Yogya, tiap bulan Sura (penanggalan Jawa) selama sebulan nyaris tidak ada job manggung. “Enggak sabar rasanya ingin segera pentas lagi, seperti ada kebutuhan,” jelasnya. Ia bahkan rela tak dibayar, asal bisa ikut pentas jika ada komunitas seni di Yogya mengadakan hajatan.
“Kalau dengan teman tidak mungkin saya pasang harga, apalagi yang meminta seniman senior seperti Butet Kertarajasa,” ungkap artis yang bergabung dalam komunitas Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo, Acapella Mataraman, kelompok seni Kua Etnika, Orkes Sinten Remen, dan Jogja Hip Hop Foundation.
Pukul 13.30 – 14.45 WIB
Studio 2 Trans TV, Taping Show Imah
Bersiap taping, Soimah beranjak sejenak menuju panggung, meninggalkan femina yang hari itu jadi penonton. Beberapa saat sebelum tampil, Soimah melakukan check sound bersama band pengiringnya. Komitmen tampil profesional membuatnya selalu mengecek segala hal sebelum tampil, termasuk cerewet dengan busana yang ia kenakan. Seperti siang itu, Soimah tampil dengan kebaya merah keemasan, sesuai dengan warna anting dan sepatu yang ia pilih sendiri.
“Show Imah…!” ucapnya lantang, membuka acara. Penonton pun berteriak, “Sok banget…!”
Soimah menimpali dengan gaya arogan. “Emang iya, masalah buat lo?” katanya, diakhiri tawa menggelegar.
Dengan tema fenomena hijab, Soimah mengundang bintang tamu Desy Ratnasari, Alya Rohali, Yulia Rahman, dan Jenahara. Dalam suatu kesempatan, Desy Ratnasari balik menanyakan kapan Soimah berhijab. “Doakan saja, segera mendapat hidayah dan menyusul,” balasnya, diikuti kata ‘amin’ serentak dari penonton.
Tak ada yang dibuat-buat. Soimah mengaku, dalam menjalani syuting ia mengalir saja. Meski tak dipungkiri, ucapannya kerap melenceng dari skrip. “Meski di luar skrip, saya tetap harus memilih kalimat yang pantas diucapkan,” ungkapnya.
Prinsip mengalir seperti air ini juga ia terapkan dalam menjalani hidup. Soimah lahir dan besar di Pati, Jawa Tengah. Saat masih SMP, ia sudah biasa tampil sebagai penari di acara resepsi pernikahan hingga acara 17 Agustusan. Ibunya, Kasmiyati, kemudian melahirkan anak ke-7. Adik bungsu ini lantas diadopsi oleh Ngatini, tante Soimah yang tinggal di Yogya.
“Selepas SMP, saya diajak Bulik (Tante) ke Yogya, sekalian menjaga adik,” jelas anak ke-5 dari 7 bersaudara ini. Di Yogya, tantenya yang berprofesi sebagai guru tari di Padepokan Bagong Kussudiardjo mendaftarkan Soimah ke SMKI Yogyakarta Jurusan Tari, dengan harapan kelak Soimah akan menjadi penari.
Jurusan tari sudah penuh. Soimah disarankan menunggu tahun depan. “Karena sayang waktu terbuang percuma, akhirnya saya mengambil jurusan karawitan, bisa dikatakan jurusan ‘buangan’,” ujarnya.
Meski sekolah karawitan, ia juga aktif belajar tari di sanggar Bagong. Dengan wajah cantiknya, ia ‘laris’ sebagai sinden, diminta dalang untuk mengiringi pentas wayang kulit. Ia masih ingat, pertama kali menjadi sinden, bayarannya hanya Rp10.000. Makin lama honornya makin meningkat seiring dengan jam terbangnya. Tak hanya nyinden, Soimah remaja juga kebanjiran job menari. Ia menari di berbagai acara seperti Hari Bhayangkara Emas dan Pekan Olahraga Nasional.
Di waktu luang, Ngatini rajin membawa Soimah ke lingkungan komunitas seniman dari ketoprak hingga campursari. Soimah ingat, dahulu sepulang sekolah ia sering dijemput oleh tantenya. Tak tahu apa-apa, ia tiba-tiba sudah didaftarkan lomba menyanyi. “Herannya saya selalu juara satu. Tante saya, orang paling berjasa atas keberhasilan saya,” ungkap sinden yang pernah manggung di Park Avenue, New York, AS, tahun 2011 lalu, ini.
Pukul 14.45 – 16.00 WIB
Ruang Make Up Trans TV, Istirahat Siang
Selepas taping, Soimah melepas kebaya dan berganti kostum. Kali ini ia memilih mengenakan kebaya berwarna hijau dengan payet emas untuk acara live Show Imah. Selepas briefing dengan kru, ia kembali duduk santai dalam ruangan berbentuk persegi panjang, dengan lima cermin berjejer di satu sisi, dengan puluhan lampu di sepanjang tepi cermin. Di sebelah kanan, ada deretan 5 ruang ganti pakaian. Di sudut ruangan, terdapat sofa untuk istirahat.
Sekilas dari wajahnya terlihat keletihan. Kantong matanya cekung akibat kurang tidur. Di punggungnya, tampak guratan merah bekas kerokan. Hebatnya, ia tak pernah mengeluh. Ia tipe wanita pekerja keras. Baginya, tampil prima di atas panggung itu adalah bentuk profesionalisme.
“Ibulah yang mendidik saya untuk kerja keras dan mandiri. Semua anak-anaknya, perempuan dan laki-laki, tidak boleh nganggur,” ungkapnya. Soimah teringat, ketika masih kecil, ia sempat kesal pada ibunya. Pasalnya, jika teman-temannya banyak bermain, ia justru harus membantu orang tuanya bekerja di pasar sebagai pedagang ikan. Tiap pulang sekolah, Soimah kebagian tugas menimba air di sumur, lalu membawa ember penuh air tersebut untuk mencuci ikan. Setelah ikan bersih, ia masih harus menjemur dan membakar ikan-ikan tersebut. Pekerjaan itu ia lakukan dari siang sampai larut malam.
“Sampai sekarang tangan saya kasar. Bahkan dulu telapak tangan saya berwarna merah karena terlalu lama kena asap. Baru hilang setelah tinggal di Yogya,” ujarnya, sambil memamerkan telapak tangannya.
Tiap hari Soimah selalu bangun subuh untuk memecah es batu. Es untuk menjaga ikan-ikan tetap segar ketika dibawa ibunya ke pasar. Sekarang, ia mengambil hikmah dari kerja kerasnya. “Ketika hidup di Jakarta dengan jam kerja tidak wajar, saya biasa saja, karena saya sudah terbiasa sejak kecil,” katanya, tersenyum.
Di Jakarta, Soimah cepat meraih popularitas. Kurang dari satu tahun namanya sudah dikenal banyak orang. Tak heran, berbagai program acara pernah ia bawakan, seperti Segerr dan Sedap Malam. Ia juga kerap datang sebagai bintang tamu di acara Hitam Putih, OVJ, dan lain-lain. Puncaknya ketika Trans TV mengontraknya untuk acara Show Imah tahun lalu. Suatu kebanggaan!
Menurutnya, semua itu tak lepas dari gayanya yang nyeleneh, pakai kebaya namun bicaranya urakan. “Orang cantik di Jakarta jumlahnya jutaan. Cantik bisa dibuat, tapi berani gila, ini ciri khas saya,” jelasnya, optimistis.
Ibarat sebatang pohon, Soimah sadar dengan kondisinya sekarang yang berada di puncak. Terpaan angin gosip dan kabar miring bisa saja menjatuhkannya. Dicap sombong oleh banyak orang adalah risiko dari profesinya kini. Padahal, Soimah di layar kaca hanyalah akting belaka.
Awal ia tampil di televisi, banyak celaan datang justru dari komunitas sesama sinden. Mereka merasa sinden sepatutnya berperilaku halus, tidak pecicilan. Soimah dianggap merusak citra sinden. “Saya jelaskan, ini pilihan hidup, mencari duit di Jakarta tidak mudah. Kalau ingin menjadi sinden selamanya, ya, tidak apa. Tapi, kalau mau memperbaiki nasib, ya, harus berubah,” katanya. Kini, berkat Soimah, justru banyak sinden baru bermunculan di televisi.
16.30 WIB
Studio 2 Trans TV, Live Show Imah
Sore kian bergulir, Soimah kembali ‘manggung’. Kali ini, Show Imah kedatangan tamu Donna Harun, Shopia Latjuba, dan Ivan Fadilla beserta anak-anak mereka. Tema hari itu adalah hot mama, meski salah satu bintang tamunya pria. Dalam salah satu percakapan, Soimah menanyakan bagaimana cara Sophia mendidik anaknya, Eva Celia, yang sudah remaja. “Boleh, dong, Eva pacaran,” ujar Sophia.
Bicara tentang kedekatan ibu kepada anaknya, Soimah teringat anak keduanya, Diksa Naja Naekonang (7), yang curhat kepadanya. Diksa mengaku sedang naksir teman sekolahnya. “Saya pun bertanya lebih jauh, maksudnya bukan mendukung pacaran, tapi ingin agar anak dekat sebagai teman,” jelas Soimah, yang juga ibu dari Aksa Uyun Dananjaya (10).
Memang, waktunya bersama anak-anak sangat terbatas. Itu sebabnya, ketika di rumah Soimah memanfaatkan perannya sebagai ibu. Memandikan anak, mengantar jemput sekolah, hingga bersih-bersih rumah.
Bagi Soimah, wanita harus memiliki prinsip terhadap pilihan yang mereka buat. “Sebenarnya, saya tidak menuntut wanita harus bekerja. Kalau pilih jadi ibu rumah tangga, jadilah ibu rumah tangga yang baik. Tapi, kalau ingin berkarier, harus maksimal, jangan setengah-setengah,” jelas istri Herwan Prandoko (32) ini.
Menurut Soimah, apa pun profesi yang dipilih wanita, pasti ada yang dikorbankan. Ia mencontohkan dirinya, yang meninggalkan anaknya di Yogya, diasuh oleh kakak perempuannya. Ini pilihan yang berat karena banyak suara negatif yang menyatakan ia tega terhadap anak. “Saya harus memilih, ada keberuntungan yang saya dapatkan, saya maksimalkan. Kalau tidak maksimal, mending bekerja di Yogya, dekat anak-anak,” tegasnya.
Itu sebabnya, Soimah tak ingin setengah-setengah. Kerja kerasnya harus bisa membuahkan hasil yang sepadan dengan pengorbanannya meninggalkan anak-anaknya di Yogyakarta.
Kini, dengan nilai kontrak miliaran rupiah, ia sudah bisa berinvestasi dalam bentuk tanah dan rumah. Ia pun sudah mampu membeli rumah di kawasan Rempoa, Jakarta Selatan.
“Saya orangnya tidak bisa memegang uang tunai, segera saya belikan tanah. Sisanya saya pakai untuk membantu biaya sekolah adik-adik dan saudara-saudara di kampung,” jelas wanita yang mengoleksi 800 kebaya ini.
20.00 WIB
Studio 1 Trans TV, Syuting Live Yuk Keep Smile
Setelah istirahat 2 jam, Soimah kembali berdandan. Kali ini ia bergaya ala artis cilik Cindy Cenora. Ia memakai dress selutut bercorak polkadot, wig dengan rambut penuh kepang. Bersama teman-temannya, Omesh dan Wendy, mereka bertiga bergaya centil membawakan lagu anak-anak. Mengundang tawa para penonton di studio Trans TV yang tak pernah sepi itu.
Menilik masa kecilnya, tak pernah sedikit pun tebersit keinginan Soimah untuk menjadi artis. “Tidak ada cita-cita menjadi artis. Saya merasa semua ini keberuntungan. Selama ada kesempatan, kenapa tidak dicoba?” ujar wanita yang sempat kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.
Keberuntungan ini tentu saja diiringi dengan konsistensi Soimah untuk terus menghibur. Sebagai sinden, Soimah punya prinsip ketika menyanyi sebisa mungkin tidak lipsync. Jujur, ia cukup prihatin pada kenyataan banyaknya penyanyi baru yang suaranya pas-pasan hanya bermodal wajah dan kekayaan, akhirnya bisa membuat album dengan modal tampil lipsync di televisi.
“Mungkin terlihat tidak adil, karena ada banyak penyanyi yang memiliki kualitas bagus, tapi tidak punya kesempatan. Mereka kalah dengan yang punya uang. Jengkel, toh, tapi saya juga belum bisa berbuat banyak karena masih sebagai pelaku seni. Paling tidak saya memberi contoh, selalu menyanyi secara live,” ujarnya.
Meski bersuara merdu, Soimah justru dikenal publik karena lawakannya. Padahal, baginya, melawak paling susah dibandingkan menari atau menyanyi. “Perlu memutar otak terus-menerus, menimpali lawan main,” jelasnya.
Tantangannya tak hanya itu. Ia pun dituntut untuk selalu ceria, meski hati sedang sedih atau tidak mood. “Pernah enek, buntu, bosan dengan rutinitas. Tapi, begitu pulang ke Yogya, baru dua hari sudah kangen manggung lagi. Ini kepiye to (ini bagaimana)?” ujarnya.
Jarum jam mulai bergerak melewati angka dua belas. Tepat tengah malam, usai syuting, Soimah pamit kepada femina untuk pulang dan beristirahat. Ia memang harus bisa memanfaatkan waktunya sebaik mungkin. Untuk belanja, misalnya, ia hanya bisa sebulan sekali. Ia membeli bahan sekaligus dalam jumlah banyak. Meski letih, senyum tetap terukir di wajahnya. Bahkan ketika ia masih harus bertemu dengan para penggemarnya. “Memang, pekerjaan jika dilakukan dengan hati ikhlas tak pernah akan terasa membosankan,” katanya, menutup perbincangan hari itu.
Daria Rani Gumulya
Foto: Oshvaldo Fackar
Artikel ini pernah dimuat di majalah Femina edisi Annual 2014